Saturday, January 26, 2008

Jawara Pemegang Waralaba Dunia

Jejak Panjang Para Jawara
Kisah sukses dedengkot pemegang waralaba kelas dunia
Sumber: Tabloid Kontan

Perlu waktu bertahun-tahun dan harus melewati serangkaian tes melelahkan agar bisa menjadi pemegang waralaba kelas dunia. Hasilnya memang sepadan karena keuntungan mengalir tiada henti. Simak kisah para jawara pemegang waralaba dunia.

Siapa yang tak kenal nama McDonald's, Starbuck dan Breadtalk? Ketiganya sudah sangat melekat dalam ingatan kita. McDonald's adalah merek hamburger Amerika yang kini sudah mendunia. Starbuck merujuk nama kedai kopi elite kelas mal dari negeri yang sama. Breadtalk adalah merek roti dari negara tetangga Singapura.

Jumlah gerai franchise top itu terus bertambah dan makin mudah kita jangkau. Tapi untuk membawa nama-nama tersebut ke Indonesia dan jadi akrab di kuping perlu waktu panjang dan melewati jalan berliku. Butuh kerja keras, modal besar, hingga kelihaian melobi agar merek-merek yang sudah melanglang buana itu bersedia mampir di Indonesia.

Tanyakan saja pada Bambang N. Rachmadi saat melamar McDonald's. Cobalah meminta Matheus Rukmasaleh Arif dan Boyke Gozali berbagi cerita saat mereka meminang Starbuck. Anda perlu menyimak pula penuturan Johnny Andrean yang tukang salon ketika hendak menggaet Breadtalk. "Wah, berat. Syaratnya ketat banget," kata Ake Arif, sapaan Rukmasaleh, seolah mewakili suara mereka.

Yang kita tahu, hasil jerih mereka tak sia-sia. Orang Jawa menyebutnya cucuk, dan kita bilang impas. Buktinya, Bambang bisa menangguk omzet entah berapa miliar rupiah saban tahun dari ratusan kedai McD yang ia kuasai. Jumlah outlet Starbuck juga sudah mencapai 60 hanya dalam waktu empat tahun. Dan ribuan pembeli yang tetap rela mengantre di depan gerai Breadtalk menunjukkan bisnis roti ini mendatangkan untung.

Jadi pembersih toilet untuk melamar McD
Bambang, misalnya, harus bersaing dengan 39 pelamar agar bisa jadi pemegang waralaba McD untuk Indonesia. Kisahnya bermula pada 1988. Selepas jabatannya sebagai Presiden Direktur Bank Panin, pria bertubuh tinggi besar yang disapa Toni ini berniat membuka usaha sendiri. Setelah menguping dan lirik sana-sini, Toni terpikat untuk menjadi pemegang lisensi restoran hamburger paling sohor sejagat itu di Indonesia. Alasannya sederhana: jaringan hamburger bermerek ini begitu sukses di seluruh muka bumi tapi belum ada di Indonesia.

Ia lantas melayangkan lamaran ke Kantor Pusat McD di Illinois Amerika Serikat. Setahun lamanya lamarannya tak berbalas. Setelah bosan menunggu, Toni mencoba mengubah strategi menggunakan jalur lobi. Kebetulan, McDonald's Singapura jadi salah satu pengiklan Stasiun Radio Ramako miliknya yang mengudara di Batam. Ia lantas menemui pemilik franchise McDonald's Singapura, Bobby Kwan, agar bersedia memberi rekomendasi.

Rupanya Bobby tak berkeberatan dan merekomendasikannya agar bisa bertemu dengan Peter Richie, pengelola McDonald's Australia. Kebetulan, Richie adalah orang yang bertugas untuk mencari mitra di Indonesia. Toni memang berhasil bertemu Richie. Tapi bukan berarti ia sudah memegang lisensi McD. Sebab, mantan Direktur Keuangan Bank Duta ini masih harus mengikuti tes di Singapura dan bersaing dengan 39 pelamar lain dari Indonesia.

Di Negeri Singa ia harus menjalani sebuah ujian yang sangat berat. Bayangkan saja. Seorang bekas dirut bank terkemuka harus menjadi tukang pel dan pembersih toilet di sebuah restoran. Masalahnya, bukan cuma harus bekerja berat sampai di atas 12 jam, tapi dia juga harus berhadapan dengan orang-orang Indonesia yang banyak berkunjung ke sana. "Mereka yang mengenal saya bingung, kenapa saya jadi pelayan di sana," katanya mengenang.

Toni memang bisa lulus dari ujian berat tersebut, tapi masih harus menyisihkan 19 pesaing sisa yang sama-sama lolos penyaringan di Singapura. Mereka lantas menjalani tes pamungkas di Sidney Australia untuk menentukan pemenang. Hasil akhirnya, Bambang lah yang berhak mengantongi lisensi untuk membuka McD di Indonesia.

Dengan modal awal Rp 3 miliar, ia pun membuka restoran McDonald's di Gedung Sarinah, Jakarta Pusat. Pilihannya tak salah. Dari yang semula satu restoran, gerai-gerai McD lantas beranak pinak puluhan hingga ratusan buah. Toni sekarang sudah berhasil menancapkan gerai burgernya hingga lebih dari 110 gerai di seantero Indonesia.


Lima tahun melamar Starbuck
Perjuangan Toni nan panjang dan melelahkan sudah pasti tak sia-sia. McD jadi tambang emas PT Ramako Gerbang Mas, induk usaha milik suami Sri Adyanti Soedharmono tersebut. Diperkirakan, omzetnya mencapai lebih dari Rp 3 miliar sehari dari hasil berjualan burger, kentang, dan ayam goreng.

Menanti bertahun-tahun juga harus dilalui Ake Arif dan Boyke Gozali ketika meminang kedai kopi kelas mal bernama Starbuck. "Kalau enggak salah inget, izin baru turun setelah empat-lima tahunan dari awal proposal kami masukkan," ucap Ake, mengingat. Ide menggaet kedai kopi modern ini bermula ketika Boyke masih berada di Amerika. Boyke lantas berpikiran untuk membawanya ke Indonesia.

Selama masa menanti, mereka harus bisa meyakinkan petinggi Starbuck di Seattle agar bersedia berbagi waralaba kepada mereka. Sejumlah prosedur dan persyaratan berat juga harus mereka lalui. Mulai dari mempresentasikan rencana bisnis, hingga kesediaan menyekolahkan sejumlah karyawannya untuk menimba ilmu kopi. "Kami tebar pesonalah, he..he..," tambah Ake.

Usaha mereka memang tak sia-sia. Mereka akhirnya lulus dan menjadi pemegang hak mengelola Starbuck di Indonesia. Kendati begitu, bukan berarti mereka bisa bebas. Sebab, selain membayar royalty, mereka tetap harus rutin melaporkan perkembangan Starbuck di Indonesia. Bahkan Ake mengatakan bahwa untuk membuka satu gerai sekalipun ia harus minta izin dari kantor pusat Starbuck dan tak bisa seenaknya menentukan lokasi pendirian gerai. "Hanya boleh di kota-kota besar. Bahkan waktu mau membuka di Surabaya saja susahnya minta ampun," kata Ake.

Toh, sejauh ini usaha mereka tetap moncer. Kendati baru empat tahun mendapat hak tersebut, kini sekitar 60 gerai Starbuck siap menyediakan kopi di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Denpasar.


Belajar membuat roti berbulan-bulan
Kita selama ini lebih mengenal nama Johnny Andrean sebagai penata rambut dan penyalon kondang. Tapi bukan berarti itu halangan baginya untuk menekuni bisnis lain yang sangat jauh berbeda dari tata rambut: bisnis roti bermerek Breadtalk.

Johnny rupanya yakin, gerai Breadtalk-nya itu juga bakal sesukses salon-salonnya. Itu lantaran di Singapura roti bermerek ini sangat populer sehingga orang rela antre berlama-lama untuk bisa membelinya.

Makanya ia betul-betul serius ketika menyiapkan gerai yang merupakan waralaba dari Singapura ini. Tanpa sungkan Johnny pergi belajar mengolah roti ke Kota Singa selama beberapa bulan, sebelum akhir bulan Maret 2003 gerai Breadtalk itu resmi muncul di sini, di Mal Kepala Gading, Jakarta.

Penciuman bisnis pria kelahiran Pontianak 45 tahun silam ini sungguh tajam. Begitu gerai pertama Breadtalk dibuka, sekitar 2000-an orang menyerbu saban hari. Saking ramainya, sampai-sampai Breadtalk menjatah 10 roti untuk tiap pembeli. Kini, dua tahun berdiri, sulur Breadtalk mulai melebar hingga 14 cabang. Kendati mulai banyak pesaing, pembeli Breadtalk tak pernah surut. Kisarannya 1000-1500 pembeli yang datang.

Johnny sekarang tidak hanya mahir menata rambut, tapi juga pintar membuat roti. Nah, bagi para pelanggan salon Johnny Andrean, jangan buru-buru kecewa, karena pria lulusan Vidal Sassoon Academy London ini suatu ketika pernah berjanji akan tetap menjalankan salonnya seperti biasa. "Lagi pula dua-duanya sudah dikelola profesional," kata Johnny waktu itu.

Mereka boleh dibilang jadi de-dengkot pemegang franchise kelas dunia. Dan sekarang belum ada dedengkot pemegang jaringan waralaba asli Indonesia. Siapa tahu, Anda nantinya yang memegang gelar itu.

Barly Haliem Noe

Antarina Sulaiman (High/Scope Indonesia)

Gara-Gara Sebuah Rumus
Kisah Antarina membesarkan High/Scope Indonesia

Ketika kuliah di Amerika, Antarina merasakan bahwa pendidikan di sini kurang pas untuk menciptakan anak yang kreatif. Itu sebabnya, ia membuka bisnis baru, di samping mempertahankan pekerjaannya sebagai dosen.

Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Peribahasa ini sangat pas bagi Antarina Sulaiman, pendiri sekaligus pemegang lisensi sekolah High/Scope di Indonesia. Pasalnya, Rina, panggilan Antarina, adalah cucu tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Kini penduduk Jakarta pastilah akrab dengan High/Scope. Sekolah ini menyediakan fasilitas belajar dan bermain usia kelompok bermain (playgroup) sampai SMP.

Rina bukan begitu saja lulus kuliah lantas membuka High/Scope di Indonesia. Keputusannya memilih bisnis ini diambil setelah melalui lika-liku panjang. Ceritanya, setelah lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rina memilih menjadi dosen. Ini berbeda dengan kebanyakan teman Rina yang membidik berkarier di perusahaan besar. Maklum, "Saya lebih tertarik ke dunia pendidikan," ungkap Rina yang lantas mengajar di Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan Indonesia (STEKPI).

Tahun 1988 Rina mendapatkan kesempatan untuk mengambil master di Amerika dengan beasiswa dari STEKPI. Ketika itulah, Rina mengalami peristiwa yang menentukan kehidupan selanjutnya. Saat seorang profesor memberi tugas untuk membuat rumus sendiri, ternyata Rina merasa kesulitan. Ia baru sadar bahwa yang banyak dilakukan pelajar di Indonesia hanyalah menggunakan rumus-rumus hafalan. "Saya merasa bego banget, ya, kok tidak bisa mengerjakan tugas profesor itu," kenang Rina.

Nah, dari situlah Rina kemudian menyadari bahwa sistem pendidikan telah berubah. Di Amerika, para siswa dituntut lebih kreatif. Tujuannya agar mereka dapat menciptakan rumus baru dari sebuah situasi yang nyata. Jadi, "Bukan hanya terpaku pada rumus-rumus yang sudah ada," kata ibu empat anak ini.

Itu sebabnya, Rina punya cita-cita baru. Ia ingin mendirikan sebuah sekolah yang bisa mendidik siswa agar lebih kreatif di Indonesia. Maka, tahun 1996, ketika kembali dari Amerika, Rina mulai membuka High/Scope. Konsep pendidikan High/Scope sudah dikenalnya selama di Amerika. Rina membeli lisensi High/Scope dari Singapura. Ia mengajak empat temannya untuk mengumpulkan modal Rp 500 juta.


KKN saat pertama mendirikan sekolah

Lantas, Rina mendirikan High/Scope di Pondok Indah. "Saya buka dengan hanya 8 murid saja untuk tingkat prasekolah," kenang Rina. Delapan siswa itu juga tidak datang dari mana-mana, lo. Enam di antaranya adalah anak-anak pemodal High/Scope Indonesia, termasuk anak Rina. "Itu KKN, ya?" ucap Rina sambil tertawa. Artinya, cuma dua siswa yang murni datang dari luar lingkungan pemodal.

Lucunya, Rina memberikan nomor pendaftaran lima untuk siswa di luar enam anak-anak pemodal High/Scope tadi. Pasalnya, "Saya malu," tutur Rina lagi. Maklum, orang tua sang anak bilang bahwa mereka cepat-cepat mendaftar di High/Scope lantaran kabarnya sudah waiting list. Padahal, anak itulah yang sejatinya merupakan siswa pertama High/Scope Indonesia. "Kenangan menyobek kuitansi itu tidak akan saya lupakan," lanjutnya.

Barangkali karena nama High/Scope sudah terkenal, dalam waktu enam bulan Rina mendapatkan tambahan murid sebanyak 100 orang. Tahun berikutnya, Rina harus menghadapi beludakan pendaftar ke High/Scope. "Sampai benar-benar waiting list, lo," seru Rina yang waktu itu hanya mempunyai enam tenaga pengajar.

Melihat perkembangan High/Scope di Indonesia yang pesat, Rina mengajukan permohonan lisensi langsung dari Amerika. "Saya tidak mau di bawah Singapura, tidak ada untungnya," kata Rina. Kebetulan, waktu itu ada pembaruan kontrak antara High/Scope Amerika dengan pemegang lisensinya di Singapura. Tahun 2000, Rina mendapatkan lisensi tersebut. "Saya puas sekali, bisa mengalahkan Singapura, "ujarnya. Setelah itu, Rina mulai menjual waralaba sekolahnya yang kini sudah ada delapan di seluruh Indonesia.

Setelah umur High/Scope mencapai empat tahun, Rina harus membuka jenjang sekolah yang lebih tinggi, bukan melulu play group dan TK. Itu sebabnya, Rina lantas membuka sekolah dasar. Namun, gedung High/Scope di Pondok Indah juga sudah dirasa kurang besar. Banyak orang tua siswa yang menanyakan gedung sekolah yang baru. "Enggak mungkin kalau di Pondok Indah terus," kata Rina.

Maka, ia mulai mencari lokasi gedung baru. Rina sejak awal tertarik dengan daerah T.B. Simatupang. Ia pun mulai sibuk menawar tanah. "Padahal, duitnya belum ada, "tuturnya. Kebetulan, seorang teman Rina berniat menyewakan tanah seluas 1,2 ha di kawasan selatan Jakarta ini. "Dreams come true," ujar istri Farid Amir ini. Karena tidak mendapatkan pinjaman, Rina harus merelakan uang simpanannya sebesar Rp 20 miliar untuk mendirikan gedung di atas lahan tersebut.

Tahun 2002, gedung milik Rina sudah jadi. Pas waktu itu kontrak gedung di Pondok Indah juga habis. Jadilah Rina memindahkan seluruh siswanya dari prasekolah sampai SD ke gedung baru tersebut.

Saat ini Rina memiliki 700 orang murid dan 120 tenaga pengajar. Dia juga mulai mempersiapkan gedung sekolah baru untuk SMA di belakang High/Scope Simatupang yang sekarang. Sebagai cucu seorang pejuang pendidikan, cita-cita Rina memang mulia, yaitu ingin memberikan pendidikan berkualitas bagi anak-anak Indonesia. Sayang, tidak sembarang anak bisa bersekolah di High/Scope ini. Maklum, hanyalah orang tua dengan kantong tebal saja yang mungkin bisa menyekolahkan anak-anaknya di sini. Untuk tingkat Toddler, misalnya, orang tua murid harus menyediakan uang sebesar Rp 12 juta untuk uang pangkal dan biaya per tiga bulan Rp 4,3 juta.

Lantas, bagaimana dengan anak-anak yang orang tuanya tidak mampu? Menurut Rina, ia memiliki program sekolah asuh. "Jadi kami mengasuh sekolah-sekolah negeri," ujar Rina yang masih mengajar di Universitas Indonesia. "Kita mendidik gurunya, supaya anak-anaknya bisa belajar seperti di sini," sambungnya.

+++++

Ikut Kursus PR

Kendati sudah lebih dulu bekerja sebagai dosen, ternyata tidak gampang bagi Antarina Sulaiman untuk berbisnis sekolah. Ia menganggap meyakinkan orang tua murid tentang metode pengajaran di High/Scope merupakan hal yang berat. Sebagian besar orang tua menuntut anaknya untuk menjadi juara. Padahal, Rina ingin mencetak anak yang kreatif dan produktif. "Harus diberi waktu, dong, anak kan bukan seperti mesin yang langsung bisa jadi," kata Rina. "Susah sekali memberikan pemahaman itu," sambungnya.

Gara-gara soal itu pula Rina pernah didemo orang tua murid. "Mereka minta penjelasan akan dibawa ke mana arah pendidikan anak-anaknya," kata Rina. Terpaksa Rina menggelar rapat dadakan dengan orang tua murid. Rina menjelaskan bagaimana pendidikan yang diselenggarakan di situ sampai tujuan pendidikannya, sampai para orang tua murid itu benar-benar paham. "Tak disangka, rapat itu berakhir hingga pukul 01.30 pagi," kenang Rina.
Setelah peristiwa itu, Rina menyempatkan diri untuk mengikuti kursus PR. "Saya harus tahu cara menangani hal seperti itu, karena kualitas benar-benar harus dijaga, "kata perempuan 43 tahun ini.

Johana Ani Kristanti